Pistol itu sematkan dalam sebuah wadah berwarna putih, yang tentu saja, dibuat khusus untuknya. Yang agak kurang kerjaan lagi adalah pertanyaan yang begitu mengusik saya waktu itu: adakah peluru di dalamnya? (atau jangan-jangan hanya pajangan semata).Tentu saja, pertanyaan saya tidak ada yang menjawab. Selain memang tidak saya ungkapkan, pertanyaan tidak penting seperti itu hanya bisa saya cari jawabannya dengan kira-kira. Atau kalau benar-benar ingin membuktikannya, tentu saya harus mencoba bertanya langsung secara baik-baik —kalau memang polisi itu sudi menjawab—, atau saya berbuat sesuatu yang bahaya sehingga ia bisa menggunakan senjatanya. He…
Di Indonesia, pistol —jenis senjata api kecil— hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Ya termasuk polisi itu. Para militer yang menjaga kedaulatan negeri saya rasa juga wajib memilikinya. Selain pistol, orang berbadan tegap itu juga punya alat-alat lain yang ‘memusnahkan’. Dan —pemilik lain– yang agak eklusif adalah para penghobi senjata api.
Tentu tak sembarang orang bisa memilikinya. Apalagi setiap senjata api harus berizin. Konon, proses perizinan itu pun tidak main-main. Selain berharga mahal, ada proses tes psikologi kepemilikan. Begitu rumit, njilimet. Dan butuh alasan kuat untuk memilikinya, seperti sebagai keamanan diri, karena posisinya dalam masyarakat sangatlah penting.
Bagaimana ia bisa mempunyai senjata api? Itulah yang menjadi tanda tanya. Tentu saja, itu bisa dijawab: bagi siapa saja yang berduit, memiliki senjata api bukanlah hal sulit. Ya ga?
Senjata api konon dibeli untuk pengamanan diri. Tapi justru dengan kehadirannya, berarti ada ruang lain (orang de el el) yang malah menjadi sasaran ketidakamanan barang tersebut. Ia hanya benda mati, dan lagi-lagi pengendali utama adalah manusia.
This comment has been removed by a blog administrator.